10 March 2011

Izinkan Aku Istirahat Sejenak

By Yuni "Dee" at March 10, 2011
Assalamu’alaikum wr.wb
Shahabat saya yang baik. Semoga tiap nafas yang terus masuk dan keluar, semakin 
menambah rasa syukur kita kepada Allah swt. Mudah-mudahan pertemuan kita lewat 
tulisan ini, menambah keeratan nan merekat ukhuwah kita.

Sebentar lagi, saya akan sharing kisah imajinatif fikiran kreatif saya. Jadi, 
sebelumnya saya menyampaikan, ini bukanlah kisah sebenarnya. Hanya coretan 
seperti masa di Sekolah Dasar dulu, Saat guru Bahasa Indonesia meminta saya 
untuk mengarang bebas. Tapi, jikapun itu seakan nyata, tiada maksud untuk 
menyindir atau menjustifikasi siapapun. Harapan saya, kisah imanjinatif ini 
menjadi pembelajaran bagi saya, semoga juga untuk Anda.


Coretan ini berawal dari saya membaca buku terbaru Pak Gede Prama. Pencerahan 
Dalam Perjalanan. Ada satu tema yang beliau bahas di buku tersebut, berkesan 
bagi saya. ”Kembali Sifat Alami Masing-Masing”. Tema ini sungguh menyadarkan 
saya untuk selalu waspada dan sadar dengan aktivitas kekinian yang sedang saya 
kerjakan, supaya tidak berjalan tanpa makna.

Kisah Imanjinatif
Sungguh kehidupan ini terkadang membuat kita terus berlari-berlari tanpa jeda. 
Usia 3 tahun orang tua sudah mencari-cari tempat bermain untuk anak-anaknya. 
Sekarang dikenal dengan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Setelah itu masuk ke 
TK A-B. Selang 2-3 tahun kemudian, orang tua sudah mulai mencari-cari sekolah 
terbaik buat buah hatinya.

Gong perlarian mulai didentumkan. Tuntutan menjadi juara dan pluit kompetisi 
semakin sering terdengar di telinga si anak. Enam tahun kemudian, orang tua 
mewanti-wanti agar belajar yang rajin dan sungguh-sungguh, itu semua beralasan 
untuk masa depan si anak, supaya mudah masuk kejenjang sekolah selanjutnya.

Sang anak sekarang mulai memasuki medan persaingan baru, teman-temannya juga 
baru. Aneka jenis pertandingan yang mesti dia menangkanpun, berbeda dengan masa 
di Sekolah Dasar dulu. Namun ada satu yang tetap sama, juara kelas. Sehingga, 
untuk mendapatkan itu, sang anak dibawa lari oleh tuntutan mengikuti pelajaran 
tambahan setelah selesai sekolah. Ada yang ikutan bimbingan belajar, adapula 
yang guru pengajar diundang kerumah, bagi orang tua yang mampu.

Berapa tahun berlalu, tanpa disadari, tiba-tiba sudah berhadapan lagi dengan 
Ujian Nasional. Tingkat kosentrasi yang berujung stresspun mulai menyapa, karena 
berbagai harapan dan gambaran-gambaran ketakutan dihadapkan kepadanya.

Setelah lulus, sang Anak mulai dilanjutkan lagi ke jenjang Sekolah Menengah 
Atas. Dia mulai merasakan suatu emosi yang terus bergejolak meledak-meledak 
dalam dirinya, dia tidak tau perasaan apa itu. Perasaan itu khusus hadir saat 
mendengar, melihat dan berdekatan dengan lawan jenisnya. Ia mengabaikannya, 
karena teringat kembali dengan program ”Belajar yang rajin, 
belajar..belajar..belajar agar jadi juara” yang ditanamkan oleh orang tuanya.

Tiga tahun belalu, kehidupan sianak hanya dipenuhi dengan belajar-belajar dan 
belajar. Ia terus berlari-berlari dengan sang target. Sekarang sang anak 
memasuki dunia kompetisi baru lagi, namun lebih fleksible. Karena tempat baru 
ini, mempunyai pilihan yang lebih banyak dalam mengambil tindakannya. Kompetisi 
di arena Perguruan Tinggi.

Karena si anak sudah terlatih semenjak kecil, yang sudah habitut baginya, 
belajar-belajar dan terus belajar, sehingga ia agak berbeda dengan 
teman-temannya yang lain. Teman-temannya tidak semuanya sibuk seperti dia. Ada 
ikut kegiatan menyanyi dan menari, olah raga, jurnalistik, lembaga dakwah 
kampus, bisnis dll. Sementara sang Anak yang sudah dewasa itu, aktivitasnya 
adalah rumah, kampus dan perpustakaan. 

Akhirnya ia lulus dengan nilai terbaik sebagai sang juara diangkatannya, 
Cumlaude. Kehidupan belum berakhir, malah seakan-akan semakin dimulai. Setelah 
lulus, Ia pun melamar pekerjaan. Alhamdulillah dia diterima ditempat kerja yang 
bonafide, sekaligus arena perlombaan dan kompetisi baru baginya. Di arena ini 
tidak kalah menarik dari ring-ring kompetisi yang telah ia menangkan. Seperti, 
setiap hari senin, meeting mingguan sebagai progres pekerjaan yang telah 
dilakukan bersama team dan bosnya. Telinga nya tidak pernah luput mendengar 
kata-kata target...target...target... dari atasannya.

Target demi target ia lampaui. Suatu hari saat pulang kerumah bertemu orang 
tuanya. Ia mendengar pertanyaan, ”Kapan kamu menikah?” pertanyaan itupun 
menambah target baru dalam hidupnya. Ia pun mencari dan mencari serta 
mencocokkan antara kriterianya dan juga masuk kriteria orang tuanya.

Setelah pencarian berlangsung, dia menemukan pedamping hidupnya. Pernikahan pun 
berlangsung. Sementara di arena kerja, di kantor dia terus mengejar target untuk 
menaiki jenjang lebih tinggi. Menjadi Manager, Kepala Cabang hingga menjadi 
Direktur. Seiring waktu, tuntutan keluarganya pun semakin bertambah berbarengan 
tingginya karir yang ia naiki.

Rasa Penyesalan
Sampai suatu ketika, ia duduk disamping sebuah jendela. Melihat kebawah, ada 
anak-anak yang sedang bermain di taman. Mereka bermain sungguh sangat 
mengasyikan penuh riang gembira. Muncul pertanyaan dalam dirinya ”Kapan aku akan 
seperti itu?”.

Ditaman itu ada jalan kecil setapak terbuat dari beton. Di atas jalan tersebut, 
ia melihat ada lelaki sedang mendorong kereta bayi bersama istrinya sambil 
mengendong anak mereka. Lagi-lagi ia bertanya dalam dirinya ”Kapan aku akan 
seperti itu?”.

Dari jendela itupun ia melihat, ada kursi terbuat dari besi. Di kursi tersebut 
ada seorang kakek dan nenek seusianya, duduk mesra dihampiri oleh anak-anak dan 
cucunya. Sekali lagi ia bertanya ”Kapan aku seperti itu?”.

Dengan wajah penuh kesedihan. Tiba-tiba ia sadar, sekarang sedang berada di 
panti jombo. Istrinya sudah lebih dahulu meninggalkan arena perlombaan 
(meninggal). Diapun tidak tau, dimana anak-anaknya berada dan dimana mereka 
tinggal. Kemudian, tanpa kuasa dia menahan, air mata mengalir membasahi pipinya. 
Air mata penyesalan.Karena ia sadar, seharusnya pertanyaan tadi tidak ia 
tanyakan. Sebab ia sudah melampauinya semua. Namun, tidak pernah dia luangkan 
waktu untuk menikmatinya. Akhirnya, ia berujar kepada dirinya sendiri ”Izinkan 
aku istirahat sejenak”. Dia pun menutup mata dan beristirahat selamanya, dalam 
jiwa penuh penyesalan.

Ciganjur, 3 Maret 2011


Sumber : Milis Sekolah Rumah : Rahmadsyah Mind-Therapist

0 comments:

Post a Comment

Kalau ada pertanyaan, usul/saran, atau komentar yang terkait dengan postingan-postingan saya, silakan tinggalkan pesan Anda disini.

 

Never Stop Learning Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by New Baby Shop